Waspada Bahaya di Balik Kajian Living Quran dan Tafsir Maqashidi

Waspada Bahaya di Balik Kajian Living Quran dan Tafsir Maqashidi

Waspada Bahaya di Balik Kajian Living Quran dan Tafsir Maqashidi

Berlangsungnya kajian ‘living quran’ dan ‘tafsir maqashidi’ harus diwaspadai. Demikian disampaikan pemikir muda muslim yang aktif mengajar di SPI (Sekolah Pemikiran Islam) Fatahillah Jakarta, Muhammad Fadhila Azka.

Dalam pemahaman yang lazim dikenal, maqashid syari’ah adalah tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat Islam sebagai alasan diturunkannya, demi kemaslahatan hamba-hamba Allah. Secara garis besar, maqashid syari’ah ada lima, yaitu memelihara agama, menjaga individu, memelihara akal, memelihara keturunan, dan menjaga harta. Sedangkan living Quran adalah kajian tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran Al-Quran atau keberadaan Al-Quran di sebuah komunitas Muslim tertentu.

“Bahayanya disebabkan sedikit banyaknya karena konsep tersebut menjadi alat pembajakan kaum liberal sekuler atas teks-teks agama,” ujar Azka seraya mengungkapkan bahwa hal tersebut juga sudah diwanti-wantikannya di dalam pertemuan Quran and Hadith Academic Society (QUHAS) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, pada Desember 2015 lalu.

Azka menjelaskan, bahwa dengan menempatkan manusia dan kepentingannya, serta berbagai respon mereka terhadap wahyu sebagai pusat kebenaran, bukan lagi maqashid syari’ah yang sesungguhnya. Padahal, maqashid syari’ah yang sejati menempatkan penjagaan atas agama sebagai prioritas.

“Wahyu yang ditundukkan oleh respons manusia, lalu yang demikian dianggap sebuah kajian tafsir yang hidup atau living Quran, adalah sebuah bentuk keangkuhan. Bagaimana bisa sesuatu yang diciptakan menjadi sentralitas kebenaran, padahal dirinya hidup melalui keberhutangan,” papar Azka.

Dalam kaitannya dengan konsep keberhutangan itu, alumnus Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah itu juga menerangkan konsep diin yang menjelaskan bahwa manusia dihutangi hidup dan kehidupan oleh Allah Sang Maha Pencipta.

“Karena kita berhutang, maka ada ‘diin’, ada aturan kepada Allah Al-Dayyan itu. Diin yang sejati adalah yang diwahyukan oleh Allah. Ketundukan kepada-Nya sesuai petunjuk-Nya menjadi keniscayaan, agar hidup kita ini dapat kembali kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Petunjuk itu adalah Al-Quran dan dipenuhi sebagai keteladanan dalam realisasinya oleh Rasulullah,” kata Azka.*/SPI Media Center

Sumber : Hidayatullah

Bagikan artikel ini ke : Artikel Yang Mungkin Berkaitan :
Filed in: Aqidah